Sunday, June 5, 2016

Gogotupan

No comments
tribunnews.com

"Duaaaarrrrr!"

Sepotong kayu berjelaga kembali dicelupkan ke dalam lubang persegi pada bambu seukuran paha orang dewasa, yang berisi minyak tanah. Kayu itu lantas disulut dengan api dari lampu botol. Dalam keadaan terbakar, potongan kayu itu disulutkan ke atas lubang persegi lagi. Kemudian tangan yang satunya lagi membekapkan sepotong kain di atasnya secara tiba-tiba.

"Duaaaarrrr!"

Dentuman kembali terdengar. Tawa riang anak-anak terdengar. Asyik memang. Nama permainan ini meriam bambu. Cara membunyikannya mirip meriam. Di banyak tempat, permainan itu memiliki banyak nama. Di pulau Jawa, khususnya Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah, permainan itu dinamai mercon bumbung atau long bumbung. Sedangkan di Banten dan di daerah tanah Sunda, mereka menyebutnya bebeledugan.

Di wilayah Melayu, yang konon katanya tempat bermula permainan ini, namanya tetap sama meriam bambu. Di Minangkabau disebut meriam betung atau badia batuang. Di Pangkal Pinang, lain lagi sebutannya yakni bedil bambu. Lalu di Aceh mereka menamai te`t beude trieng.

Di daerah tetangga kami, Provinsi Gorontalo, mereka menyebutnya bunggo. Sedangkan di daerah kami, Desa Passi, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, kami menamainya gogotupan.

Dari sumber yang saya baca, asal-usul meriam bambu ini, terinspirasi dari senjata bangsa Portugis. Meriam perang mereka adalah yang paling canggih kala itu. Sekitar abad ke-6 masehi, bangsa Portugis datang ke nusantara, dengan membawa peralatan perang termasuk meriam. Tentu saja, di zaman itu meriam masih menjadi senjata yang menakutkan.

Tapi seiring perjalanan waktu, meriam itu menjadi inspirasi untuk membuat permainan gogotupan. Modalnya hanya batang bambu. Di daerah saya, jenis bambu terbaik namanya taraki'. Hanya dibutuhkan panjang 1-2 meter dengan diameter 4-5 inci untuk membuat gogotupan. Setelah dilubangi persegi di pangkal bambu, jangan lupa tanda ruas di dalam bambu juga disingkirkan.

Selanjutnya, siapkan minyak tanah, lampu botol, dan sepotong kayu. Juga potongan kain atau kaos bekas yang berguna untuk membekap lubang, usai menyulutkan api. Panaskan dulu gogotupan, sampai akhirnya siap digunakan.

Biasanya, saat mencari batang bambu, anak-anak akan secara gotong royong mencarinya di kebun atau hutan bambu. Butuh 2-3 orang dalam satu tim. Nantinya, tim akan saling mengadu dentuman meriam bambu itu dengan beberapa tim lain. Selain membentuk tim, ada pula yang membuat gogotupan sendiri-sendiri. Kendati hadiah saling adu gogotupan itu hanya berupa pujian.

Seringkali gogotupan terbaik, yang biasanya cara menyimpannya hanya diselipkan di antara pepohonan pisang, dipastikan raib. Atau malah ditemukan terbakar. Namun begitulah anak-anak. Rasa kecewa dan rasa bersaing selalu ada. Tapi, besoknya anak-anak kembali membuat gogotupan baru. Begitu seterusnya. Sebab risiko gogotupan retak pun kerap terjadi.

Musim gogotupan, biasanya hadir setiap menyambut bulan Ramadan. Tradisi itu dulu untuk membangunkan orang-orang, agar segera bersantap sahur. Tentu saja, gogotupan hanya dibunyikan di tempat yang jauh dari pemukiman. Biasanya anak-anak akan mengambil jarak, dengan radius beberapa ratus meter dari rumah penduduk. Selain itu, waktu membunyikannya pun diatur. Jadi tidak sembarangan dan menggangu warga yang sedang beristirah. Malah, dulu orang-orang tua seperti rindu mendengar suara dentuman, yang juga pernah mereka mainkan semasa kecil itu.

Tradisi semasa kecil itu yang mulai digerus zaman. Diambil alih petasan, kembang api, dan roket-roket bermercon meriah. Yang tentu saja harganya lebih mahal dibandingkan sepotong bambu.

Ah, seandainya, Festival Gogotupan didentumkan di Ramadan kali ini. Eropassi?

No comments :

Post a Comment