Sunday, December 22, 2019

Perokok

No comments
Kuala Lumpur. Dari nama kotanya, saya sudah tergelitik. Dalam bahasa lokal Manado, "kuala" artinya: sungai atau kali. Disusul "lumpur". Bisa diartikan sendiri apa yang membikin saya merasa lucu.

Kuala Lumpur punya dua bandara atau biasa disebut KLIA akronim dari Kuala Lumpur International Airport. Bandara KLIA 1 adalah bandara lama, sedangkan KLIA 2 yang baru. Setelah hampir dua jam lebih terbang, tengah hari kami mendarat di KLIA 2 yang diitari perkebunan sawit. Perbezaan, eh, perbedaan waktu antara Jakarta dan Kuala Lumpur hanya satu jam. Lebih awal Kuala Lumpur.

Setelah mendarat, mata saya memindai segala informasi yang tertulis di sekitar bandara. Lagi-lagi, karena perbedaan bahasa, saya sering tersenyum lalu memotret satu demi satu sebagai keping-keping ingatan. Saya memotret dengan ponsel milik Ann. Ponsel saya tiba-tiba mati total sewaktu di Bandara Soetta. Kutukan Donal Bebek.

Karena didesain ala mal, di dalam bandara ini semua kebutuhan tersedia. Jika di Indonesia ada Alfamart dan Indomaret, maka di Malaysia ada 7-Eleven. Di sanalah kami berburu air mineral dan beberapa kue pengganjal perut, karena maskapai penerbangan yang kami tumpangi terlalu pelit berbagi.

Selain itu, barang yang paling saya cari ada di sana. Korek api. Saya membawa dua bungkus rokok dari Jakarta. Tapi di kota ini, yang harga sebungkus rokoknya bisa membeli dua bungkus di negara kita, fasilitas untuk merokoknya minim.

Setelah rombongan lainnya berhimpun karena kami mengikuti paket tur, akhirnya kami beranjak keluar dari bandara menggunakan bus pariwisata. Dalam bahasa Melayu: bas persiaran.

Sepanjang jalan, sawit melambai. Perkebunannya tertata rapi. Tak ada sedikit pun ilalang di bawahnya. Tanaman yang paling rakus air ini, seolah-olah dibuat untuk saling berebut air dan segala nutrisi tanah, hanya dengan sesama pohon sawit lainnya.

Hanya sekitar 30 menit berlalu, kami singgah di resting area. Bus-bus dan truk-truk raksasa terparkir. Di resting area ini difasilitasi tandas awam maha luas. Tandas = toilet. Awam = umum. Tandas awam = toilet umum. 

Puluhan orang bisa berjajar sekali pipis. Untuk yang mau buang air besar, puluhan jamban juga berjajar. Di toilet inilah dahi saya berkerut. Di samping tisu toilet tertulis: jimatkan tisu tandas. "Jimat" dalam bahasa Melayu artinya: cermat (tentang uang atau penggunaan sesuatu), hemat, atau tidak boros. Kalau dalam bahasa Indonesia artinya: azimat atau benda bertuah. Ada yang mau jimat untuk ikut tes CPNS? 

Di resting area ada juga musala. Seperti toilet, musala laki-laki dan perempuan juga terpisah. Untuk tempat makan, ada puluhan warung berjejer yang di depannya terhampar rapi meja dan kursi makan. Saya melirik-lirik apakah ada tulisan yang menginformasikan di tempat itu bisa merokok. Tak ada. Padahal tempatnya terbuka.

"Kalau merokok di mana?" tanya saya kepada guide kami, Anwar.

"Jalan di depan sana. Di parkir," katanya sambil menunjuk pepohonan rindang di parkiran. Saya bertanya dulu sebelum kami makan, karena jika setelah makan lalu tidak merokok, rasa-rasanya seperti dihajar truk dari belakang. 

Kami memesan makanan di warung makan yang telah ditunjuk. Lauknya beragam. Ikan goreng, ayam goreng, udang, cumi-cumi, tempe, telur dan sebagainya. Sayurnya juga tak jauh beda, ada buncis dan taoge, kangkung, dan lain-lain. Rasanya nusantara.

Saya memesan nasi lemak, kalau di Indonesia namanya: nasi uduk. Nasi itu terbungkus daun pisang. Setelah cepat-cepat makan, saya segera menuju parkiran untuk merokok. Jaraknya hampir 20 meter dari tempat makan. Di sana sudah ada tong sampah plastik, yang di atasnya bisa untuk meletakkan puntung rokok. 

Akhirnya, tak jadi disambar truk. Malah bertemu sopir bas persiaran yang meminta rokok.

No comments :

Post a Comment