Wednesday, August 6, 2014

Laksi Pamuntjak di: “Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia”

No comments
Tulisan ini, ingin saya simpan di Getah Semesta.

Paris...
07 Desember 2008

Oto-fiksi dalam Sastra Indonesia: Pramoedya Ananta Toer dan Nh. Dini.

Oleh: Laksmi Pamuntjak

Saya ingin membuka percakapan ini dengan mengutip penyair John
Ashberry. Dan kalimat ini tidak terdapat dalam salah satu puisinya,
melainkan muncul dalam sebuah ceramah di Columbia University . " Ada
saatnya kita sadar bahwa tak ada satupun laku manusia yang lebih
dramatis dan meyakinkan ketimbang laku kita sendiri."

Saya sering merenungi kalimat ini. Nampaknya John Ashberry tak hanya
membuat sebuah komentar estetik tentang hidup dan karya orang-orang di
sekitarnya, tapi juga tentang masa sekarang, masa di mana kita hidup,
dan juga tentang perubahan fundamental—yang tak selalu disadari—dalam
bagaimana kita bercerita.

Dengan kata lain, John Ashberry mempermasalahkan efektivitas narasi
tradisional dalam membangun plot, dan dalam menjalin sejumlah aksi
manusia melalui tokoh yang bukan diri kita sendiri—yang berhasil
melampaui hukum alam dan mengambil alih baik diri mereka sendiri
maupun kondisi yang mereka alami—dengan cara yang meyakinkan dan
"nyata" bagi para pembaca.

Izinkan saya bercerita tentang pengalaman saya sendiri. Suatu hari,
saya mengirim pada teman saya 29 halaman cerita pendek saya lewat
email, cerita pendek yang tadinya saya niatkan sebagai sebuah
"novella." Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai tulisan yang
berdasarkan hidup saya sendiri itu. Sembilan bulan lamanya saya
bergulat dengan teks ini; ia membuat saya bahagia sekaligus tersiksa.
Kadang saya merasa ia berada dalam kendali saya, tapi lebih sering ia
menyeret saya ke dalam alurnya sendiri. Ia membebaskan sekaligus
mememenjara.

Teman saya ini seorang teman lama. Ia seorang pembaca yang cermat dan
terlatih. Terhadap sebuah teks, ia kritis dan menuntut; ia terus ingin
tahu, ingin tahu lebih banyak, mengenai hidup manusia yang terkandung
dalamnya. Ia memilih subyek yang menarik minatnya, kemudian
menyelaminya dengan ketekunan seorang ilmuwan. Ia menilik untuk
mengerti, ia mengerti untuk puas.

Entah berapa surat terlayang di antara kita. Tentu, ia juga bercerita
mengenai dirinya, tapi yang mengalir, sesungguhnya, adalah sungai
kenangan saya.

Dan apa kata kawan saya itu, yang pagi itu menatapi saya tajam-tajam,
tak ubahnya seorang guru terhadap muridnya? "Kamu menutup-nutupi
begitu banyak hal mengenai dirimu." katanya, "Sebagai orang yang cukup
tahu apa yang telah kamu lalui, saya terus terang tak puas."
Masalahnya cukup sederhana, katanya: detailnya tidak cukup.

Pada titik itu saya terhenyak. Ia memang buru-buru menambahkan bahwa
pendapat ini berasal dari seseorang yang merasa mengenal saya;
seseorang yang punya bias, yang mungkin menjadikannya "… bukan seorang
kritik yang tepat, karena saya sudah terlalu masuk dalam detail
kehidupanmu." Tapi saya merasa bukan itu persoalannya: saya yakin ada
sesuatu dalam struktur atau roh tulisan itu sendiri yang tak memadai,
yang tak "menjadi". Kecurigaan saya terbukti ketika ia menambahkan
bahwa selama ini ia lebih sering membaca novel – novel dalam arti yang
tersempit: yang punya awal, bagian tengah dan akhir, dengan titik di
mana ia "selesai".

Siang itu saya pulang ke rumah dengan perasaan tak karuan. Saya merasa
gamang, tercerabut. Saran kawan saya menghisap pengetahuan saya
mengenai diri saya sendiri: benahi kronologinya, perjelas setiap
lokasi, terangkan hubungan si ini dan si itu, perkenankan kita menemui
lagi karakter ini … semuanya tuntutan bahwa yang diekspresikan harus
juga dijelaskan.

Pada akhirnya, saya tetap bertahan dengan struktur lama. Ini bukan
karena saya tak bersedia menerima kritik, tapi karena saya yakin bahwa
persepsi kita mengenai fiksi – apalagi fiksi yang berangkat dari
otobiografi – tidak cocok. Saya tak mau terlalu jauh menyimpulkan
bahwa latar belakang disiplin kita yang berbeda – ia ilmu pasti, saya
humaniora – juga berperan dalam cara kita melihat apa yang relevan
dalam kedirian seseorang. Tapi kehausan akan detail itu, akan yang
"benar" dan yang sahih (dan ia bukan pembaca yang malas, atau yang tak
imajinatif) mau tak mau adalah sesuatu yang kualitatif, sesuatu yang
hanya bisa diukur dan diperiksa dari terjadi atau tidaknya sesuatu –
kapan, bagaimana dan mengapa – sesuatu yang bisa dirunut sebab dan
akibatnya. Dengan kata lain, sesuatu yang bersumber dari fakta.

***

Masalah yang mendasar dalam fiksi otobiografi sebenarnya bukan dalam
mengolah dan menyeimbangkan unsur fiksi dan fakta, tapi dalam
memutuskan fakta mana yang harus disingkap dan mana yang tidak, antara
"kebenaran" dan "setengah-kebenaran". Dalam fiksi dan dalam
otobiografi, narator orang pertama selalu memerlukan sebuah dalih,
sebuah helat, untuk memulai.

Sebelum abad ke 20, berbicara mengenai diri sendiri, baik dalam laku,
lisan maupun tulisan, tak pernah merupakan sesuatu yang terpuji:
novel-novel dan otobiografi-otobiografi klasik yang berpura-pura
menjadi memoar orang lain rata-rata dimulai dengan apologia bagi si
Aku. Zaman sekarang pun, ketika ke-aku-an tak lagi perlu dibela,
sebuah buku telaah diri, sebuah novel mengenai pribadi penulis,
senantiasa mengundang pembenaran. Mungkin akan "berguna" bagi orang
lain. Saya harus menuliskan hidup saya. Ada sesuatu yang ingin saya
gali, yang saya tak mengerti. Ini bukan mengenai saya, ini mengenai
orang lain. Mengenai orang-orang banyak.

Bagi banyak pengarang kontemporer, otobiografi – atau
semi-otobiografi, pengadopsian yang imajinatif dari sebuah persona –
adalah cara terampuh untuk membuat fiksi mereka berbicara, mengenai
dan terhadap keterasingan dan kekacauan hidup modern. Mereka melekat,
menyambalewa tak ubahnya sesosok bayangan abadi, di tapal batas
nonfiksi dan otobiografi. Dan inilah yang sesungguhnya mengusik kawan
saya, sang penggemar novel, beserta para tradisionalis lain. Mereka
terusik karena mereka tak menyadari bahwa novel zaman sekarang
tetaplah novel, bahwa sesuatu yang dihimpun dari ke-tak ada-an secarik
kertas kosong dan kesunyian sebuah ruang tak kalah absahnya dengan
sebuah cerita epik yang menghadirkan puluhan tokoh dan hamparan
geografi yang luas.

Betapapun, kecenderungan baru ini – yang tak begitu baru lagi di
Eropa; usianya paling tidak sudah lebih dari satu abad – masih saja
dipermasalahkan di Amerika, tak jarang dengan nada cemooh. Reaksi ini
memang konsekuensi alamiah dari bagaimana fiksi dan otobiografi
diajarkan secara tradisional: salah satunya melalui kontradiksi.

Pertama, kita diajarkan bahwa penulis diharuskan menulis hanya
mengenai apa yang ia ketahui. Kedua, bahwa otobiografi, memoar, jurnal
dan surat-menyurat dianggap bentuk-bentuk artistik yang inferior
terhadap novel tradisional. Tapi, dengan demikian, bagaimana kita bisa
menilai Midnight's Children, yang diakui sendiri oleh pengarangnya,
Salman Rushdie, sebagai karya berlandaskan visi "cermin yang pecah",
sebuah dunia setengah nyata setengah maya yang riap dan lebat, yang
disusun di atas ingatan yang "khilaf"?

Kita semua tahu, Rushdie melewatkan separuh hidupnya di luar Bombay ;
sebelum menulis Midnight's Children, yang terbit tahun 1981, ia
mengunjungi kota kelahirannya untuk "mengingat": pakaian orang pada
tahun 50 dan 60-an, poster film dan iklan, lagu-lagu lama. Karena,
secara kuantitatif, "mengingat" adalah lain dari "mengetahui",
haruskah kita mempermasalahkan validitas dan otentitas penulisnya
sesuai dengan diktum di atas, tanpa memedulikan pengaruh karya itu
pada kesadaran kita? Pada saat yang sama, bagaimana kita menghargai
jurnal Sylvia Plath, yang menyingkap sesuatu mengenai anatomi depresi
(yang, kita semua tahu, berakhir dengan tragis?) James Joyce dengan
The Portrait of an Artist as a Young Man? Rilke dengan The Letters of
a Young Poet-nya (yang, hampir satu abad kemudian, dicontoh dengan
brilian oleh satiris Vanity Fair Christopher Hitchens)? Bagaimana kita
menjelaskan sekaligus menciutkan peran Grace Paley dalam sastra modern
– ia yang selama karirnya berfiksi memakai tokoh Faith, seorang ibu
beranak dua, sebagai alter-egonya? Atau Umar Kayam, dengan tokohnya Ki
Ajeng dalam Manga Ora Mangan Kumpul, yang kita semua tahu adalah
alter-egonya?

Pergeseran fiksi dari kanvas-kanvas besar – mitos, laga, cerita epik –
ke dalam narasi kehidupan sebagaimana hidup itu sendiri – sesuatu yang
diinternalisasi, patologis, dan quotidian – berlangsung pada saat yang
sama radio, majalah dan film menjadi bagian kesehari-harian kita.
Begitu rupa hingga kita layak bertanya: mengapa, di zaman tabloid dan
televisi, kisah-kisah heroik harus dibebankan pada para penulis? Kita
tahu anasir-anasirnya: "Fakta lebih seru dari fiksi!", "Kita bercerita
kepada diri kita sendiri supaya tetap hidup."

Kita telah tiba di sebuah zaman di mana fantasi dan faktafiksi
diborong oleh medium-medium elektronik yang membawa semacam kondisi
kultural "keterasingan" di tengah apa yang sebut impuls elektronik.
Kita membutuhkan sebuah suara yang dapat menembus dinding, semacam
lorong kontak, di tengah deru informasi, eksibionisme, Oprah Winfrey,
dan mekanisme pemasaran 24 jam yang kita kenal sebagai "seni
komunikasi."

Dan oleh karena itulah para penulis mulai melongok ke peti diri, dan,
dengan girang campur takjub, menemukan hal-hal yang kecil, intim tapi
tak kalah menarik di dalamnya. Kita harus tahu, harus mencari tahu,
bagaimana orang lain hidup—di balik pintu dan jendela tertutup rapat,
di sisi weker yang tersetel pada jam-jam tertentu, di tengah
suara-suara yang terbungkam, di dalam ruang-ruang yang terapit dan
terancam. Psike sang individu, si "aku", yang tercerabut dari segala
apa dan senantiasa dirundung bahaya, adalah psike seorang dalam
perjalanan; perjalanan tersebut, tanpa awal dan akhir yang jelas, dan
tanpa garansi akan adanya perubahan, sesungguhnya adalah esensi Kisah
Modern, atau "the modern story." Dan dengan demikianlah, sejarah kita
urai, helai demi helai.

Chairil Anwar pernah mengatakannya: terbang dengan the only possible
non-stop flight, sonder menemu, sonder mendarat. Saya rasa ini bukan
saja sebuah pekik kemerdekaan, tapi juga pengakuan atas batas yang
dihadapi manusia justru ketika ia mencari dirinya. Dalam sajak "Senja
di Pelabuhan Kecil", Chairil meloncat-loncat begitu saja ketika
menghadirkan pelbagai benda-benda di depan matanya ("gudang", "rumah
tua", "tali temali") dan ia membaurkan semua itu, secara simultan,
dengan baris-baris solilokui tentang isi hatinya; ia juga membawakan
bunyi-bunyi kata yang sangat beragam dan perhentian yang tak
terduga-duga di tengah kalimat. Realitas dari luar dan dalam dirinya
mengalir, dan pertemuan terjadi dengan yang kebetulan, langsung,
individual, sekaligus begitu jauh dan dekat, tanpa bisa
diklasifikasikan.

Pada akhirnya, di penghujung abad ke 20, sastra memang melakukan yang
hanya bisa dilakukan oleh sastra: menyelusup ke dalam kepala orang
lain, mengalami sejenak bagaimana rasanya menjadi seseorang yang bukan
kita. Ia mengekspresikan, bukan menjelaskan; ia merupakan penyingkapan
kehidupan interior yang tak habis-habis, di mana si aku adalah
penghubung antara kenyataan dan imajinasi. Apabila abad ke 19 berpusat
pada perkembangan sebuah keadaan, kata penyair Italia Cesare Pavese,
abad ke 20 adalah mengenai esensi yang statis.

Tapi, memang bukan tanpa masalah. Sebuah narasi orang ketiga, berbeda
dengan orang pertama, dengan sendirinya mampu menciptakan ilusi bahwa
cerita itu sedang berlangsung sekarang, saat ini. Kisah seorang
narator orang pertama, tidak bisa tidak, harus mengenai masa lalu.
Bercerita adalah menceritakan kembali. Dan pada saat itulah terbuka
kemungkinan untuk salah. Salah karena satu atau lain hal: ingatan yang
khilaf, jiwa manusia yang tak terbaca, jarak yang meniadakan antara
masa lalu dan masa kini, keterbatasan bahasa.

Javier Marias menulis, dalam kalimat-kalimat pertama Dark Back of Time:

"Saya percaya saya masih belum pernah keliru dalam membedakan fiksi
dan realita, meski saya telah mencampuradukkan keduanya lebih dari
sekali, seperti halnya semua orang, tak hanya para novelis dan penulis
tapi semua orang yang telah menceritakan sesuatu semenjak permulaan
waktu, dan tak ada satupun orang di dalam waktu yang diketahui itu
telah melakukan sesuatu di luar bercerita dan bercerita, atau
menyiapkan, atau memikirkan sebuah cerita, atau merencanakannya. Siapa
saja bisa menyampaikan sebuah anekdot mengenai sesuatu yang terjadi,
dan karena menyatakan sesuatu adalah menyimpangkan dan
memutarbalikannya, bahasa tak kuasa mereproduksi kejadian dan oleh
karenanya tak perlu mencoba melakukannya sama sekali …"

Dengan kata lain: menceritakan kembali sama saja dengan fiksi.

No comments :

Post a Comment