Saturday, October 22, 2016

Untuk Neno

No comments
picture http://gambar-foto-wallpaper.blogspot.co.id/

Salam kenal, Neno Karlina Paputungan. Entah bagaimana, ternyata kita sudah berteman di Facebook. Hanya saja kamu memakai nama Calsita Catelyna Soekarno di akun Facebook. Saya juga baru tahu, setelah kamu mengomentari tulisan saya lalu membagikannya. Biar sok akrab, saya panggil Neno saja. Namanya lucu ya? Seperti film animasi Finding Nemo.

Kemarin, saya sempatkan membaca dua tulisanmu di detotabuan.com karena dibagikan teman-teman di sosmed. Saya juga baru tahu, kalau posisimu sebagai koordinator liputan (korlip) merangkap wartawan biro Bolmong, setelah saya intip di susunan redaksi.

Bagus ya, di Bolmong semakin banyak perempuan yang tertarik dengan dunia jurnalistik. Selain teman-teman baik saya; Eling, Yuyun, Dinda, dan Eby.

Begini, saya cuma ingin menyampaikan (dengan berusaha sehalus mungkin karena kamu perempuan) kalau dua tulisanmu itu masih banyak kekurangan. Tinggal banyak belajar dan terus asah kemampuan, pasti akan jadi bagus. Dan alangkah lebih bagus lagi jika typo dalam dua tulisanmu itu diperbaiki. Tukang kritik itu konsultan gratis lho. Daripada mereka yang suka memuji dan membiarkan kesalahan. Itu seperti mendorong kita ke dalam semak berduri.

Nah, apalagi kalau tidak salah Neno mengaku masih bau pelatihan jurnalistik. Jika masih bau pelatihan, tentu ada yang melatih bukan? Atau sedang melatih diri sendiri?

Sebenarnya sederhana. Menulis itu hanya butuh kemauan dan kecermatan. Saya juga kerap kali salah. Bahkan saat menulis ini, saya juga mungkin ada beberapa kesalahan. Tipsnya, usai menulis baca lagi tulisannya. Perbaiki mana ejaan yang salah dan penggunaan kata baku sesuai EYD, baru diunggah. Kan, sayang, capek-capek menulis terus cepat-cepat diposting dan ternyata banyak kesalahan.

Apalagi, tulisan Neno diposting di portal berita detotabuan.com dan mungkin dibaca ratusan atau mungkin ribuan orang. Menjadi penulis itu, kita juga harus belajar menjadi pembaca. Penempatan titik, koma, dan tanda baca lainnya juga diperhatikan. Tidak mau kan, Neno membaca kalimat panjang tanpa tanda koma dan titik? Hosa au' a.

Tapi sebenarnya yang terpenting ketika menulis itu sih, ide tulisan. Setelah menemukan ide, maka mulailah menulis. Jangan dulu takut salah. Tapi kalau baru belajar, cobalah membuat blog. Gratis pula. Saya juga suka tertawa sendiri saat membaca tulisan-tulisan lama di blog.

Nah, untuk pemborosan kata dalam kalimat juga bisa dipelajari di internet. Google sudah menyediakan apa yang kita butuhkan. Tinggal kemauan untuk belajar yang terus dikomporin.

Saya beri contoh untuk menghemat kata dalam kalimat di bawah ini:

Neno menulis dan mengirim surat kepada Ebi.

Jika kalimat itu disingkat, biar tidak boros, maka jadinya seperti di bawah ini:

Neno menyurati Ebi.

Menyurati itu sudah termasuk menulis dan mengirim surat, kan?

Terus penggunaan kata baku sesuai KBBI. Jika tidak ada kamus, di ponsel bisa diunduh aplikasi KBBI. Seperti kata 'risiko' yang selalu dieja salah menjadi 'resiko'. Atau 'sekedar' padahal yang benar 'sekadar'. 'Silakan' yang masih sering kelebihan vitamin 'h' menjadi 'silahkan' padahal kata dasarnya 'sila'. Ada juga 'merubah' padahal yang benar itu 'mengubah' karena kata dasarnya 'ubah'. Masih banyak lagi. Apalagi soal preposisi. Semuanya tersedia di internet. Sila cari di Wikipedia. Asal jangan malas saja.

Soal tulisan di Kronik Mongondow, waduh, itu mah biasa. Sudah pernah jadi wartawan media cetak yang hampir setiap hari dibentak? Keuntungan di media cetak hampir semua wartawan diwajibkan menulis berita di kantor. Ada ruang redaksinya. Sebenarnya media online juga punya dapur redaksi. Jadi ketika redaktur sedang mengedit berita — untuk wartawan baru — wajib duduk di samping redaktur. Perhatikan ketika pengeditan. Belum pernah mengalami: kata yang typo terus dibesarkan redaktur? Setelah itu dibentak!

Kata-kata seperti: kodok, idiot, tolol, tumpul, setang, bodok, dega' gulapung bi' kon bonu ulu, dan lain sebagainya, sudah biasa di telinga. Bukan apa-apa, tujuannya biar kita terus belajar dari kesalahan. Jadi wartawan juga jangan cengeng. Nah, karena Neno perempuan, biar ingin bermental logam, coba berteman dengan yang nama Eling. Dijamin, Neno akan banyak belajar menjadi wartawati tangguh. Apalagi sama Yuyun. Bisa juga berteman dengan Dinda dan Eby. Setidaknya mereka sudah lebih dulu terjun di dunia jurnalistik dan sudah banyak mencicipi garam.

Ngomong soal yang lebih dulu terjun menjadi buruh tinta, saya salah satu yang sepakat dengan pendapat: wartawan itu tidak ada senior dan junior. Ngana yang dianggap baru, kalau bisa menulis lebih baik dari mereka yang mengaku lebih dulu jadi wartawan, maka yang dianggap berbakat itu ngana. Tuhan memang adil, karena membagi masing-masing manusia dengan bakat tersendiri. Dan bukan hal yang tidak mungkin, jika suatu saat Neno akan lebih bagus menulisnya.

Akhir kata, tulisan ini tidak perlu dibalas lalu diposting di detotabuan.com. Jika hendak membalas, bikinlah blog ne. Saya juga bukan bermaksud menggurui. Tapi hanya ingin berbagi. Deng inga, inga, inga, jangan amplopan, ting!

No comments :

Post a Comment