Friday, April 19, 2019

Mama Kota

No comments

Pernahkah kamu membenci sebuah kota, lalu tiba-tiba beberapa hal istimewa terjadi di kota itu?

Saya membenci Jakarta dan sekitarnya yang berisi gedung-gedung jangkung benderang, pengemudi lalu lalang beraut poker face, dan orang-orang bergegas seperti setiap detik ialah uang.

Meski baru terhitung jari saya mendatangi kota ini, saya segera memutuskan membencinya ketika kali pertama berkunjung, lima tahun yang lalu. Tapi jika pengetahuan menunggumu di kota ini, maka meluangkan waktu untuknya jadi keharusan.

Penerbangan dari Jayapura menuju Jakarta adalah perjalanan paling melelahkan, karena melewati tiga zona waktu. Semakin dekat dengan tujuan, jarum jammu berubah. Dua tahun lalu, saya pernah mengalaminya. Ketika orang-orang sedang merayakan Iduladha, saya sibuk berpindah-pindah dari satu bandara ke bandara lain, untuk melanjutkan perjalanan panjang dari Jakarta ke Papua.

Tapi kali ini, bukan hanya pengetahuan yang saya kejar di 'mama kota'. Ada kerinduan yang telah lama berdiam di masing-masing titik, lalu memiliki kesempatan untuk bersua. Ini tentang menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang kerap mendarat di ubun-ubun. Bertahun-tahun. Bonusnya, saya berjumpa kawan-kawan lama.

Tepat di kota ini, saya merayakan hari raya usia. Senang, karena dijabati erat seorang datuk dari Padang tepat pukul 12 malam, esoknya diberi kejutan dan riuh ucapan kawan-kawan di tengah kegiatan, dikirimi lagu "Adil Sejak Dalam Pikiran" dari salah satu personel Beranda Rumah Mangga (Braga) sebelum mereka merilisnya, bertemu Wenri Wanhar dan dipesani novel terbarunya "Lelaki di Tengah Hujan", menonton premier Game of Thrones seri terakhir yang sudah ditunggu-tunggu selama setahun, film dokumenter Sexy Killers akhirnya dirilis di Youtube, dan bertemu kawan lama sewaktu di AJI Gorontalo dulu.

Yang teristimewa, berjumpa dengan yang saya sebutkan tadi di atas: menemukan jawaban.

Hal-hal istimewa di atas, mengada di kota yang paling saya benci. Sepertinya, kota ini memang sengaja ingin meluruskan jalan pikir saya, bahwa untuk membenci sesuatu kita harus berkecupan dengan hal-hal baiknya juga.

Namun, sudah kodratnya Donal Bebek, pasti ada kesialan yang terjadi. Kendati kesialan itu hanya menyapa laptop saya. Ia meminta beberapa lembar rupiah, untuk membuatnya kembali berfungsi seperti sedia kala. Ada juga seorang kawan dari Aceh yang ketinggalan pesawat. Tapi saya yakin, itu bukan dikarenakan sinyal sial dari saya. Meski sesekali terlintas kata: mungkin.

Sekarang, apakah saya masih membenci kota itu? Masih. Kenapa? Karena kota itu membuat saya terpaksa harus merindukannya.

No comments :

Post a Comment