Thursday, April 4, 2019

Mari Tersenyum Kembali

No comments

Di belakang bukit tempat Universitas Cenderawasih berdiri, saya dan seorang pewarta foto Antara, Gusti Tanati, sedang berbincang di sebuah galeri. Di jalan, ramai orang menonton Persipura lewat layar infokus.

Sore itu, saya sedang mewawancarai Gusti, terkait galeri foto Black Orchid miliknya, Sabtu (16/3/2019). Langit mendung. Wilayah tempat galeri itu berada adalah salah satu langganan banjir jika hujan.

"Kalau hujan deras, tidak ada lagi akar pepohonan yang bisa disinggahi air di bukit itu," kata saya, sambil menunjuk bukit-bukit gundul yang mengitari hampir sebagian Perumahan Furia Kotaraja, Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Saya dan Gusti tak berlama-lama di galeri. Ia harus pulang ke Kota Jayapura sebelum hujan. Begitu pun dengan saya, harus kembali secepatnya ke Waena. Langit telah gelap, lalu garis-garis gerimis mulai mengiris. Kami bergegas pulang dengan sepeda motor masing-masing. Di persimpangan Kotaraja, kami berpisah.

Saya nyaris kuyup malam itu. Beruntung, karena hujan melebat saat saya sudah di depan lorong kos. Setelah sampai di kamar, saya menyalakan laptop untuk memindahkan hasil wawancara yang saya tulis di note ponsel. Di luar, hujan semakin deras.

Beberapa jam kemudian, grup Telegram kantor Jubi riuh. Kawan-kawan wartawan Jubi yang bermukim di Sentani, satu demi satu mengabarkan soal banjir. Saya heran, sebab biasanya jika hujan lebat mendirus Jayapura dan sekitarnya, maka wilayah yang banjir kebanyakan berada di Kota Jayapura dan sekitarnya. Bukan di Sentani.

Wartawan Jubi pertama, Engel Wally, malam itu berada di RSUD Yowari. Ia sedang menjaga istrinya yang terbaring sakit. Ia mengirim foto-foto suasana rumah sakit. Pasien-pasien panik, karena air mulai masuk ke beberapa ruangan.

Wartawan Jubi kedua, Arjuna Pademme, juga mengabarkan hal yang sama. Jalan di kompleks perumahannya mulai tergenang. Wartawan Jubi yang ketiga, Aguz Pabika, juga dikabarkan berada di wilayah yang berdekatan dengan sungai.

Tetapi yang paling menegangkan, kabar dari wartawan Jubi yang keempat, Yance Wenda. Ia yang paling kami khawatirkan, sebab caranya mengirim pesan di grup sangat berbeda. Ternyata ia dan beberapa tetangganya, tinggal di daratan yang berada di tengah-tengah Kali Toladan. Menurutnya gemuruh batu terdengar keras. Air telah menyapu rumah-rumah. Ia dan anak istri meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri, sambil terus mengabari kami di grup.

Dari kabar-kabar mereka itulah, saya membuat berita banjir bandang malam itu, lalu segera menayangkannya di jubi.co.id. Di media sosial, berbagai macam video mengenai banjir mulai diunggah. Satu per satu saya memindainya. Ketika melihat dalam video ada seorang balita ditemukan hanyut, kemudian rumah-rumah dilewati air bercampur lumpur, saya yakin itu adalah banjir bandang.

Saya segera mengirim pesan kepada Gusti melalui WhatsApp. Saya mengabarkan soal banjir itu, dan memintanya untuk berangkat bersama-sama ke Sentani pada pagi hari. Sebab berangkat malam itu, pasti berisiko. Sepanjang jalan menuju Sentani ada beberapa jembatan sedangkan kali-kali meluap. Selain itu, saya khawatir jika ada longsor di jalan. Di grup, dikabarkan akses ke Sentani terputus. Gusti tidak membalas pesan saya malam itu.

Pukul 5.30 pagi, Gusti mengontak saya. Saya menunggunya di depan lorong. Setelah ia menjemput saya dengan sepeda motornya, kami berangkat ke Sentani. Di jalan, kami berpas-pasan dengan tiga ambulans yang sirinenya meraung-raung. Dalam hati saya, pasti banjir bandang semalam menelan banyak korban.

Titik pertama yang kami singgahi adalah Kampung Harapan. Jembatan sesudah Stadion Papua Bangkit, retak. Sungai berlumpur. Beruntung tak ada permukiman di bantaran sungai itu. Tetapi warga sekitar banyak berkumpul di atas badan jembatan. Ada salah satu personel TNI AD yang bersepeda motor searah dengan kami, berhenti di jembatan itu. Ia mengatur lalu lintas, lalu mengingatkan orang-orang agar menjauhi jembatan. Satu jalur yang retak ditutupi dahan-dahan pohon olehnya.

Kami melanjutkan perjalanan. Saat memasuki Kota Sentani, kami menemui satu jembatan lagi yang dikerumuni orang. Di bantaran kali ada permukiman. Di sisi kirinya, tampak bagian belakang rumah lenyap disapu luapan air. Saya sempat mewawancarai orang-orang yang kehilangan ternak, karena rata-rata kandang berada di atas kali. Di kali itu juga dikabarkan ada dua mobil diseret arus. Kali itu pula yang luapannya menghantam permukiman wartawan Jubi, Yance Wenda.

Tak berlama-lama di situ, kami terus menyusuri kota. Kali ini, kami menemui satu jembatan lagi. Orang-orang sekitar menyebutnya Jembatan Tahara. Di samping jembatan ada Hotel Tahara, yang tanah di sisi kirinya telah dikikis air. Ada permukiman di bantaran sungai ini yang lenyap disapu bah.

Terus memasuki kota, kami akhirnya menemui jalanan yang masih digenangi air dan lumpur. Tepat di depan Yonif 751/Raider, lumpur masih setinggi betis. Sepeda motor terpaksa kami parkir di depan sebuah ruko. Di sinilah saya menduga lagi, korban banjir ini pasti tak sedikit. Sebagian tembok-tembok pagar Yonif tumbang. Kendaraan yang lewat khususnya sepeda motor harus didorong, karena arus masih kencang.

Saya dan Gusti sibuk memotret, sambil sesekali bertanya kepada beberapa orang. Menurut mereka, sehabis Yonif, ada titik terparah tepat di depan AURI. Sesampai di sana, saya semakin yakin, korban memang tak sedikit.

Seumur hidup, baru kali itu saya menyaksikan secara langsung kondisi kota hancur. Jalan raya dipenuhi pohon-pohon yang sebagian banyak telah melapuk. Tembok-tembok rebah. Rumah-rumah tak berbekas. Perabotan rumah tangga berserakan. Beberapa ekor ayam dan bebek terbaring di jalanan.

Kompleks AURI berada di bantaran Kali Kemiri. Arus kali meluber ke jalan, tapi tak merusak jembatan. Saya lama termenung di sana. Banyak sekali rumah yang hancur. Mobil-mobil terbenam lumpur. Bahkan ketika berjalan di atasnya, saya merasa ada manusia yang teruruk lumpur dan pasir itu.

Gusti sibuk memotret sebuah kantor kelurahan yang hancur ditembus pohon. Saya bertanya kepada salah satu warga, apakah kompleks ini titik terparah. Tapi katanya masih ada lagi. Tepatnya di Kampung Doyo Baru.

Saya dan Gusti coba menumpang di truk yang mengangkut sejumlah personel polisi. Kami meminta izin dengan gestur tangan. Tapi seorang personel polisi menolak. Kemudian truk Tim SAR tiba-tiba lewat. Kami memberi isyarat yang sama. Mereka berhenti.

Sepanjang jalan, kami bertanya kepada mereka mengenai penemuan jenazah. Katanya, mereka sudah membawa belasan jenazah. Menurut mereka, di Doyo Baru tepat di Lapter MAF, diduga masih banyak jenazah.

Setelah sampai di sana, saya merasa perjalanan kami sejak dari Stadion Papua Bangkit, seperti memiliki level kerusakan yang runut. Dari level satu dan seterusnya. Di lapter inilah, level paling parah. Luapan Kali Ular di belakang lapter dan permukiman, meluluh-lantakkan apa yang dilewatinya.

Sebuah pesawat kecil, terseret dari lokasi hanggar sampai ratusan meter ke jalan raya. Pesawat itu kandas di jejeran pagar besi yang telah koyak diamuk banjir bandang. Tak jauh dari pesawat itu, ada helikopter BNPB yang jadi tontonan warga, karena seperti gagal mendarat. Baling-balingnya terkulai hampir menyentuh tanah. Posisinya juga agak miring karena tanah masih berlumpur.

Hanggar hancur. Di belakang lapter, ada permukiman yang telah rata dengan tanah. Bebatuan yang ukuran terbesarnya hampir setara mobil, melindas habis rumah-rumah. Orang-orang mulai bercerita tentang kondisi semalam. Menurut mereka, teriakan orang-orang hanyut terdengar di mana-mana.

Kami melanjutkan perjalanan hendak menuju Kali Ular dan jembatan di atasnya. Tapi kami masih melewati satu titik yang juga parah. Sekolah Advent juga diterjang banjir. Pagar sekolah hancur. Di sana arus air masih mengalir di beberapa titik. Kami terus menyusuri jalan, sampai menemukan sebuah warung makan tak jauh dari sekolah itu. Hari telah siang. Kami beristirahat untuk makan.

Sesudah makan, kami menumpang sepeda motor yang dikemudikan kawannya Gusti. Sampai di Kali Ular dan jembatan, kondisi di sana tak terlalu parah. Luapan Kali Ular, justru meluber ke lapter. Kami segera kembali ke titik-titik terparah. Sepanjang jalan, saya melihat arus-arus kecil menghanyutkan beberapa helai pakaian. Ada sebuah peci kecil hanyut di sana. Kacamata minus yang saya kenakan, segera saya pasangi dengan lensa gelap. Saya menangis.

Kami kembali ke pusat Kota Sentani yang tak terlalu terdampak banjir. Ada sebuah rumah kopi yang tutup, tapi kami meminta izin untuk membuat berita. Pemiliknya mengizinkan. Menjelang malam, kami berjumpa beberapa pewarta dari Kota Jayapura. Kemudian Gusti menyarankan agar kami segera kembali, sebab ia hendak mengambil gambar di rumah sakit tempat semua jenazah dibawa.

Dua hari kemudian, kantor menugaskan saya kembali ke Sentani. Saya diminta menginap di hotel selama beberapa hari, untuk keperluan liputan. Saya segera berkemas lalu berangkat. Sesampai di Sentani, hotel-hotel penuh. Hanya Hotel Tahara yang sejumlah kamarnya belum terisi. Terang saja, sebab hotel ini berada di tepi kali dan tanah di sisi kirinya sudah terkikis air.

Beberapa wartawan dari Jakarta juga memilih menginap di Hotel Tahara. Saya juga memberanikan diri menginap di sana, tapi memilih kamar yang berada di sisi kanan hotel. Tapi kalau diperhatikan jelas, jarak bangunan hotel dan kali masih sampai lima meter. Karena ada jalan masuk untuk mobil di sisi kiri. Hanya pagar saja yang nyaris roboh sebab tanah telah dikikis air. Beberapa pekerja dan alat berat juga telah disewa pihak hotel, untuk membuat tanggul sementara dari karung-karung besar berisi pasir.

Saya menginap di hotel itu selama empat hari. Ketika menyusuri kota di hari pertama, saya berjumpa dengan pemilik rumah makan yang berasal dari kota kelahiran saya, Kotamobagu. Rumah makan itu menjadi tempat favorit saya selama berada di Sentani. Bumbu-bumbu masakannya dan cara pengolahannya, membuat saya bernostalgia dengan masakan ala Mongondow, atau masakan ibu saya di kampung.

Selama turun liputan, saya tidak menyasar lokasi-lokasi penggalian jenazah. Bukan tak berani. Tapi saya belum tega membikin berita dari penuturan keluarga korban yang meninggal. Baru pada hari ke lima pasca-bencana, saya ditemani wartawan Jubi, Engel Wally. Awalnya kami menuju lokasi pengungsian di Gunung Merah, Kantor Bupati Jayapura. Lokasi ini sudah saya datangi sebelumnya. Saya lantas menyarankan Engel, agar menyusuri bagian belakang kantor. Tepat di bawah kaki Robhong Holo. Engel mengiyakan. Kendati saat itu mendung dan sesekali gerimis.

Dengan sepeda motornya, kami berboncengan melewati kaki Robhong Holo. Kami menemukan sebuah jembatan putus tepat di atas Kali Kemiri. Jika dihitung, ada tiga jembatan di atas kali ini. Jembatan pertama hancur sedangkan yang kedua tidak. Tapi kondisi jembatan kedua parah karena banyak pohon menghantamnya. Jembatan ketiga, yang berada di jalan raya tepat di samping AURI.

Selesai memotret, kami menyusuri jalan yang akan menembus jalan raya. Di sinilah Engel menyapa seorang kawannya, Stenly Monim yang tengah membonceng putrinya. Menurut Engel, rumah kawannya ini hancur karena berada di Kali Kemiri. Saat itu, saya belum tahu, kalau ada anaknya yang menjadi korban.

Melalui Engel, saya meminta izin mewawancarainya. Ia setuju. Ia lalu menitipkan anaknya di rumah salah satu kerabatnya. Seekor anjing, sedari tadi terus membuntutinya. Stenly membawa kami ke lokasi rumahnya, yang telah berganti bebatuan dan batang-batang pohon.

Saat mewawancarainya, saya menangis. Salah satu putrinya baru saja dimakamkan. Bayi laki-lakinya belum ditemukan. Satu-satunya anak selamat, yang tadi diboncengnya. Saya sangat berhati-hati ketika mewawancarainya. Saya tak menanyakan kondisi jenazah anaknya, dan yang membuat ia terus mengingat mendiang anaknya. Saya hanya fokus kepada cerita ketika bah datang malam itu.

Belakangan, saya merasa menyesal telah mewawancarainya. Sejumlah wartawan mencari dia, ketika berita saya ditayangkan. Saya merasa bersalah, karena liputan saya itu, mereka terus menanyai dia, mengulang-ulang pertanyaan, dan kembali menggali-gali lukanya.

Ada banyak sekali luka dan duka di Sentani. Tujuh puluh lebih jenazah belum ditemukan. Rumah seorang kawan wartawan Jubi tak bisa lagi ditinggali. Rumah-rumah warga di Danau Sentani tenggelam. Jenazah bayi laki-lakinya Stenly ditemukan. Dan yang terakhir, istri tercinta Engel Wally telah berpulang.

Sedalam-dalamnya duka untuk kalian. Tetapi mari tersenyum kembali, karena Tuhan tak pernah memberikan cobaan yang melewati batas kemampuan umatnya.

No comments :

Post a Comment