Monday, February 22, 2016

Catatan Terakhir dari Ekspedisi Gembira ke Batui

No comments
Kusali, tempat prosesi adat digelar
"Mari makan," ajak seorang ibu di salah satu pondok bambu yang saya lewati.

"Terima kasih, masih kenyang ibu," saya tersenyum, sembari melanjutkan memotret aktifitas di tempat yang mereka namai dapur umum.

Puluhan ibu itu, seperti hasil kloningan dari ibu saya sendiri. Mereka sangat ramah, penuh tawa, dan suka mengajak makan. Etos gotong royong yang mereka miliki cukup purba dan terus bertahan.

Di Kusali, tempat berlangsungnya ritual Monsawe yakni ritual puncak usai Tumpe (prosesi pengantaran telur Maleo), pondok-pondok melingkar-rangkul bangunan yang serupa masjid. Bangunan itu tempat digelarnya ritual. Ada sekitar belasan pondok yang dibangun dari papan kayu, namun bagi yang tidak mendapat bagian di pondok kayu, mereka mendirikan pondok-pondok bambu dan tenda.

Kawan saya, Christopel Paino, yang juga turut bersama dengan kami ke Batui pada awal tahun, menuliskan soal asal usul ritual itu, dengan sangat jelas di artikel ini. Saya tinggal menceritakan pengalaman ketika melihat jalannya ritual.

Setelah lelah berkeliling Kusali, saya rebah sejenak, di pondok keluarga kawan saya Rahmad Samadi. Ia warga Batui, yang menjadi karib saat reriungan di Kedai Kopi Maksoed. Ia pula yang mengajak kami melihat berlangsungnya prosesi adat yang digelar sekali dalam setahun ini.

Dan... kemudian saya pun terlelap.

Duuuunnnnggg. Duuuunnnngggg. Suara mendengung terdengar sayup-sayup. Riuh orang lalu-lalang pun berdengung serupa sekumpulan lebah. Saya sedang bermimpi. Sampai ketika mata saya terbuka, ternyata suara yang masuk ke alam bawah sadar saya, berasal dari dalam bangunan yang serupa masjid itu. Ini nyata.

"Sudah dimulai?" tanya saya kepada kakak perempuan Rahmad.

"Iya, baru dimulai," jawabnya.

Pondok yang ditempati keluarga kawan saya, Rahmad Samadi
Saya melirik jam di ponsel. Sudah pukul 11 malam. Saya bergegas menuju tempat ritual, yang sebenarnya hanya berjarak sekitar 7 meter dari pondok. Saat masuk ke dalam, bunyi gong yang ditabuh, memenuhi seisi ruangan. Gemuruh dua kalimat syahadat selaras dengan ketukan-ketukan gong. Meski memakai jaket, dingin tetap merangkul.

Di ritual ini, kabarnya nanti ada beberapa orang dari berbagai usia, yang akan dibuai oleh roh leluhur, yang mereka sebut tontembang, bukan kemasukan yang lebih berkonotasi pada roh jahat. Saya menunggu dengan degup jantung yang ritmenya tak lagi beraturan. Sepuluh menit kemudian, dua orang nenek di samping sebuah altar, tubuhnya mulai bergetar. Dalam posisi bersila, keduanya seperti sedang dibuai. Tubuh mereka bergoncang mengikuti irama gong dan syahadat.

"Itu sudah tontembang?" tanya saya penasaran, pada seorang perempuan di samping saya.

"Iya, sudah."

"Apakah pernah ada anak-anak yang tontembang?"

"Iya, ada. Biasanya yang anak-anak hanya bermain."

"Terus, hanya orang asli Batui yang bisa tontembang?" saya jadi seperti seorang reporter, yang terus mengejar dengan pentanyaan-pertanyaan. Saya ingin memastikan, apakah pengunjung seperti saya, bisa juga kemasukan.

"Tidak juga, pernah ada pendatang," jawabnya.

Jawabannya itu, membikin saya merinding. Tapi karena gemuruh syahadat, rinding perlahan berubah menjadi haru. Nuansa islami sangat terasa. Satu per satu, dari yang muda hingga renta, mulai tertarik masuk ke dalam pusaran syahadat. Tubuh mereka satu per satu dirasuki roh-roh leluhur. Kain berwarna merah menutupi pundak, sebagai penanda bahwa lima pancaindra mereka telah dikendalikan roh. Beberapa orang ibu yang tontembang, sembari gemulai menari, berjalan keluar beriringan untuk mengambil air wudhu.

"Itu, yang keluar ambil wudhu, masih tontembang?"

"Iya, nanti mereka masuk kembali," jawabnya. Tak tergurat sedikit pun kesal di wajahnya, saat meladeni setiap pertanyaan-pertanyaan saya.

"Terus, bagaimana jika yang masuk nanti roh jahat?"

"Ada yang bisa mengusir, nanti ditanyai, kalau memang bukan roh leluhur, pasti diusir," jelasnya. Ia melanjutkan beberapa bagian yang lupa saya tanyai. Saya mengangguk mendengar penjelasannya.

Tiba-tiba.... Di seberang, tempat para kaum laki-laki berjejer, ada seseorang yang dengan posisi bersila lantas tubuhnya terangkat ke udara. Seperti sebuah loncatan. Semua orang kaget. Meski hanya sekitar 5 detik di udara, dengan tinggi loncatan 1 meter, saya coba menalar, bagaimana bisa orang dalam posisi bersila, bisa meloncat setinggi itu?

Sebagian orang mulai dirasuki roh leluhur. Kain merah sebagai tanda bahwa orang-orang ini sudah dirasuki
Lewat tengah malam, semakin banyak yang tontembang. Dari ratusan orang, sudah berkisar 40an orang telah dibuai roh leluhur. Yang unik, roh leluhur menguasai tubuh tidak harus sesuai gender. Ada roh leluhur perempuan, yang masuk ke dalam tubuh laki-laki. Ada pula sebaliknya, roh leluhur laki-laki, yang masuk ke perempuan. Seorang perempuan, tampak memakai kopiah, merokok, dan duduk bersila dengan tegap layaknya laki-laki. Perangainya berubah total menjadi laki-laki.

Pukul 4 pagi, kantuk kembali menyergap. Saya memilih kembali ke pondok. Dari dalam pondok, hampir setiap saat, saya melihat oranng-orang tampak berlari mengerumuni tempat ritual. Mereka yang hanya di luar bergelantungan di jendela. Kemudian terdengar kabar dari yang sempat menyaksikan, bahwa ada seekor burung Maleo yang terbang masuk ke dalam. Padahal di sekitar situ, tidak bisa ditemui lagi burung-burung Maleo. Bahkan untuk keperluan ritual, telur Maleo terpaksa harus dibeli dari wilayah lain. Perusahaan gas bumi dan sawit yang melingkari wilayah Batui, membuat burung-burung Maleo itu takut, sebab habitatnya dirusak.

Lantunan syahadat, tabuhan gong dan gendang, membikin mata saya cepat meredup. Pukul 7 pagi, mata saya menyala terang. Saya kembali masuk ke dalam tempat ritual. Lebih ramai saat subuh. Semakin bertambah banyak orang yang mengenakan kain merah. Mereka berdiri berpasang-pasangan menari-nari. Saya hanya tidak habis pikir, sebab beberapa di antaranya usianya sudah renta. Tapi mereka bertahan menari. Ada yang tubuhnya terus bergetar karena tontembang hingga berjam-jam. Bayangkan saja, dari semalam mereka tanpa henti melafadzkan syahadat dan menari hingga pagi hari.

Sampai pagi, ritual masih berlangsung
Dan, kawan saya, Rahmad, yang sedari malam ikut dalam pusaran ritual, tubuhnya tiba-tiba bergetar. Saya segera merogoh ponsel di kantong. Saya coba merekam momen itu. Ia tiba-tiba masuk ke dalam arena ritual, yang berada di tengah-tengah. Setiap yang tontembang, pasti akan menuju atau dibimbing ke tengah arena. Hamparan karpet merah dibuat kusut oleh liuk tubuhnya. Gesturnya seperti orang bersilat, kemudian berganti menyerupai seorang panglima, sembari kedua tangannya terbentang — mengisyaratkan ajakan — agar lafadz syahadat dikeraskan.

Tak lama, tubuhnya lunglai bersujud. Ia dituntun untuk keluar arena. Ia lantas memilih keluar dari tempat ritual. Saya yang saat itu, sudah kembali menuju pondok, diajaknya untuk menjauh dari tempat ritual.

"Ayo, ikut saya,"

"Mau kemana?"

"Agak sedikit menjauh dari sini. Jika mendengar lantunan syahadat itu, saya seperti ditarik kembali ke alam lain," ceritanya, sembari terus melangkah menuju sebuah pondok berlantai dua, di dekat gerbang masuk Kusali.

Di belakang pondok, ia terus mengusap wajahnya yang masih pucat pasi. Dua orang laki-laki turut serta bersama kami saat itu. Salah satunya, ternyata adalah kerabat dekat Rahmad.

"Bagaimana perasaanmu tadi? tanyaku.

"Aduh, saya tidak tahu lagi. Saya tidak dalam keadaan sadar," ia coba mengingat.

Melihat raut wajahnya, saya coba mengalihkan pembicaraan. Saya bertanya kepada kerabatnya itu, apakah di wilayah sekitar Kusali ini, sudah ada perkebunan sawit. Saya mendapati jawaban yang membuat selengkung senyuman di wajah saya.

"Jaraknya tidak jauh dari sini, tapi saya sudah memagari batasnya. Saya mengingatkan kepada mereka, kalau sampai lewat batas tanah adat ini, maka nyawa saya jadi taruhan!"

Bangga saya dibuatnya. Di tengah gempuran perusahaan, masih ada semangat-semangat melawan seperti ini, meski yang lainnya lebih memilih jatuh dalam pelukan korporasi. Nasib ritual ini ada di tangan orang-orang seperti mereka.

Rahmad memilih kembali ke pondok, setelah ritual selesai, pukul 9 pagi. Saat melangkah menuju pondok, lantunan kidung Tumpe terdengar menyayat.

"Itu yang menyanyi laki-laki, tapi roh perempuan yang masuk," jelasnya.

Saya berlari menuju pengeras suara, untuk merekam kidung itu. Nyanyian yang melurut hati saya. Bait-bait sabda dari alam yang transendental, bahwa kebersamaan harus dijaga, sebab prosesi adat ini hanya digelar sekali dalam setahun. Maka tradisi Tumpe diharapkan menjadi momen untuk tetap menjaga sikap gotong-royong, saling membantu, dan tetap mempererat persaudaraan. Sebuah pesan moral yang datang menembus jauh dari kegaiban.

Jalan menuju Kusali, tempat ritual berlangsung. Ini foto saat kami kembali usai prosesi adat
Batui, tahun depan kami akan berkunjung lagi. Rindu akan semangat kalian, rasa persaudaraan yang erat, dan tentu saja; masakan-masakan yang enak dari ibu-ibu yang dengan lapang dada kerap kali menawari kami makan. Energi dari makanan itu, yang menebalkan dan menjaga semangat kami, juga kalian, untuk tetap MELAWAN!

No comments :

Post a Comment