Tak ada tempat menumpahkan rasa selain di kamar hitamku ini. Blog ini adalah kamar hitam mayaku. Di sini tempatku membual. Setelah kemarin kita selalu saling menyeret rasa, malam ini rasa itu melemparkan jangkarnya. Kita memang tak sebaik apa yang pernah kita rencanakan sebelumnya. Tapi di sini, di malam ini, tiga kata itu meringkus segala sebab. Dan memang, menurutku masa lalu yang termaafkan adalah yang paling menentukan masa depan kita kelak.
Hidup selalu adil, saat arus menyeretmu ke kubangan lumpur, maka arus itu pula yang kembali membasuhmu dari lumpur. Aku tak pernah ada andil di situ, aku hanya seonggok wayang yang sedang dimainkan Sang Dalang. Jauh di dasar hati ini, Sang Dalang yang paling tahu. Karena segala sebab bermula darinya, dan segala akibat pun tak terlepas darinya. Malam ini dari semua rentetan sebab-akibat itu akhirnya bermuara di ujung satu jawaban. Kita berdua diciptakan untuk berbeda dan tak akan pernah sepaham.
Ada yang sebegitu indah dan besar maknanya dari kisah ini, aku lebih tahu bagaimana harus berpikir kemudian bertindak. Setelah sebelumnya aku terjebak dengan tindakan yang belum dipikirkan terlebih dahulu. Aku belajar banyak, bahwa ketika akal yang menjadikan kita manusia sebagai makhluk yang mulia, telah difungsikan dengan sebagaimana mestinya. Soal tanggung jawab itu, sebegitu besarnya sebuah resiko tapi masih bisa kupikul, meski untuk keberlanjutannya selalu ada celah yang menjadi tempatku mengintip akan segala kekuranganku.
Sebuah ketakutanku nanti bukan soal perpisahan, tapi tentang masa di mana peranku sudah tiba dan aku tak lagi di sana. Peran yang mungkin nantinya akan tergerus waktu seiring dengan apa yang akan terjadi. Peran sebagai ayah yang tertunda. Kita memang mudah mengucapkan, tapi yang tersulit sebenarnya saat kita akan menjalaninya nanti. Sendiri-sendiri, mungkin sebuah keputusan yang memangkas segala yang menggantung selama ini. Tapi untuk yang telah kita lewati bersama, itu menjadi faktor pembentuk kita. Membentuk perisai yang nantinya akan kita pakai untuk melindungi diri dari segala murka kehidupan. Karena yang kita jalani ini belum ada apa-apanya. Hidup masih panjang untuk kita tak berpikir panjang.
Seperti yang selalu aku harapkan adanya sebuah keputusan. Bersama atau berakhir. Dan sebuah pilihan tercentang sudah, maka jangan pernah menyinggung masa lalu dengan keburukan-keburukan yang terserak saat itu. Aku pun mendengar kalimat itu terucap dari lisanmu dengan begitu tenangnya. Mimpi-mimpi kita memang selalu berbeda, sejak kita baru mau beranjak tidur di malam-malam kemarin. Untuknya, kau selalu tahu siapa 'nya' yang kumaksudkan, ceritakan padanya; aku seorang ayah payah yang berupaya dengan susah payah menjadi ayah yang baik. Karena kelak, ia akan menemukanku lewat cerita-cerita itu.
Di April ini, segalanya bermula dan berakhir. Kita harus berpisah. Tiga kata itu. Melepaskan sekaligus meringkusku.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Hidup selalu adil, saat arus menyeretmu ke kubangan lumpur, maka arus itu pula yang kembali membasuhmu dari lumpur. Aku tak pernah ada andil di situ, aku hanya seonggok wayang yang sedang dimainkan Sang Dalang. Jauh di dasar hati ini, Sang Dalang yang paling tahu. Karena segala sebab bermula darinya, dan segala akibat pun tak terlepas darinya. Malam ini dari semua rentetan sebab-akibat itu akhirnya bermuara di ujung satu jawaban. Kita berdua diciptakan untuk berbeda dan tak akan pernah sepaham.
Ada yang sebegitu indah dan besar maknanya dari kisah ini, aku lebih tahu bagaimana harus berpikir kemudian bertindak. Setelah sebelumnya aku terjebak dengan tindakan yang belum dipikirkan terlebih dahulu. Aku belajar banyak, bahwa ketika akal yang menjadikan kita manusia sebagai makhluk yang mulia, telah difungsikan dengan sebagaimana mestinya. Soal tanggung jawab itu, sebegitu besarnya sebuah resiko tapi masih bisa kupikul, meski untuk keberlanjutannya selalu ada celah yang menjadi tempatku mengintip akan segala kekuranganku.
Sebuah ketakutanku nanti bukan soal perpisahan, tapi tentang masa di mana peranku sudah tiba dan aku tak lagi di sana. Peran yang mungkin nantinya akan tergerus waktu seiring dengan apa yang akan terjadi. Peran sebagai ayah yang tertunda. Kita memang mudah mengucapkan, tapi yang tersulit sebenarnya saat kita akan menjalaninya nanti. Sendiri-sendiri, mungkin sebuah keputusan yang memangkas segala yang menggantung selama ini. Tapi untuk yang telah kita lewati bersama, itu menjadi faktor pembentuk kita. Membentuk perisai yang nantinya akan kita pakai untuk melindungi diri dari segala murka kehidupan. Karena yang kita jalani ini belum ada apa-apanya. Hidup masih panjang untuk kita tak berpikir panjang.
Seperti yang selalu aku harapkan adanya sebuah keputusan. Bersama atau berakhir. Dan sebuah pilihan tercentang sudah, maka jangan pernah menyinggung masa lalu dengan keburukan-keburukan yang terserak saat itu. Aku pun mendengar kalimat itu terucap dari lisanmu dengan begitu tenangnya. Mimpi-mimpi kita memang selalu berbeda, sejak kita baru mau beranjak tidur di malam-malam kemarin. Untuknya, kau selalu tahu siapa 'nya' yang kumaksudkan, ceritakan padanya; aku seorang ayah payah yang berupaya dengan susah payah menjadi ayah yang baik. Karena kelak, ia akan menemukanku lewat cerita-cerita itu.
Di April ini, segalanya bermula dan berakhir. Kita harus berpisah. Tiga kata itu. Melepaskan sekaligus meringkusku.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment