Kita berkelindan, lalu kugigiti tengkukmu kala itu. Kala yang Maha.
Dan kini... Kamu menyambalewa selarik rasa. Kemudian kita berparak dengan teriak serak, dan tak ada lagi saling tarik lalu mengarik.
Dunia kita dekat berbeda, ketika sungai mau kuminum, kamu menginginkan lautan. Lautan menyihirmu. Padahal meski tawar dan asin, mereka itu air. Sama-sama dingin, sedingin kita sekarang.
Kemarin ada yang kubiarkan mencak-mencak. Biar tujuh pusara bisa kau tebang. Satu pusara yang menggenapi bukan dari papan. Ini batu cadas. Dan kakimu tiba-tiba kena serpihan batu, luka dan bacin.
Dulu, kata yang malu. Memerah karena tungkai yang akan berkerut lunglai. Sekarang, kata yang berani. Karena sadar kalau kata 'mati' itu terus sakti. Menyebat apa yang hebat.
Lalu apa?
Kita mau berpisah...
Ada yang kecil sedang menangis besar...
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Dan kini... Kamu menyambalewa selarik rasa. Kemudian kita berparak dengan teriak serak, dan tak ada lagi saling tarik lalu mengarik.
Dunia kita dekat berbeda, ketika sungai mau kuminum, kamu menginginkan lautan. Lautan menyihirmu. Padahal meski tawar dan asin, mereka itu air. Sama-sama dingin, sedingin kita sekarang.
Kemarin ada yang kubiarkan mencak-mencak. Biar tujuh pusara bisa kau tebang. Satu pusara yang menggenapi bukan dari papan. Ini batu cadas. Dan kakimu tiba-tiba kena serpihan batu, luka dan bacin.
Dulu, kata yang malu. Memerah karena tungkai yang akan berkerut lunglai. Sekarang, kata yang berani. Karena sadar kalau kata 'mati' itu terus sakti. Menyebat apa yang hebat.
Lalu apa?
Kita mau berpisah...
Ada yang kecil sedang menangis besar...
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment