Saya menulis ini setelah menamatkan membaca 'Amba' salah satu novel apik karya Laksmi Pamuntjak. Novel setebal hampir 500 halaman ini (tinggal lima kali kita membolak-baliknya genap sudah 500 halaman) bercerita sebuah kisah roman percintaan yang berbau amis darah---Pulau Buru. Kurang lebih ini kisah tentang 'Buru' yang akan melegenda sesudah tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, 'Bumi Manusia'. Lebih kurang seperti itu testimoni para penulis dan sastrawan yang namanya bertengger di kulit sampul belakang novel. Untuk tahu lebih, silahkan menyisihkan uang tabunganmu lalu melangkah ke toko buku terdekat.
Saya ingin melanjutkannya dengan persoalan menulis dan membaca. Sedari Sekolah Dasar saya sudah gemar membaca, dan menulis. Dan meski tak gemar, kedua hal itu mungkin wajib bagi kita yang mengenyam pendidikan. Bahkan tak ada kata 'mungkin' tapi 'wajib'. Pelajaran Bahasa Indonesia memang selalu menjadi hal yang istimewa bagiku. Untuk mengarang, nilaiku tak pernah di bawah sembilan. Begitu pun dengan pelajaran lainnya. Sedari kelas satu hingga kelas enam, juara kelas menjadikanku anak yang selalu disisir rapi oleh Ibuku. "Kamu anak pintar" kata Ibuku. Lalu tak pernah saya mendengar kalimat lanjutan, "Siapa dulu dong orang tuanya" dari tutur kedua orang tuaku. Ini prestasiku, dan mereka memahaminya.
Membaca adalah kegemaran kanak-kanak. Ketika komik-komik 'Donal Bebek' mulai antri tersusun di rak-rak almari buku saudara perempuanku. Pinjam dan segera melekaskan membaca. Karena pinjam selalu diakhiri dengan harus mengembalikannya. Meski kami adalah saudara. Sungguh aneh jika kegemaran itu tiba-tiba datang setelah berpuluh-puluh tahun kemudian. Sama halnya dengan kegemaran menulis. Kini, buku seperti candu. Tak ada buku, tak mabuk. Kata-kata sering memabukkan memang. Mencongkel mata kita, memaksa menelannya, biar mata kita seliweran di dalam tubuh. Menjelma bersama leburan kalimat-kalimat, dan merangsek pelan di sel-sel syaraf, untuk kemudian menemukan maknanya.
Aneh memang, setelah berpuluh-puluh tahun, tiba-tiba cakra untuk menulis dan membaca terbuka dengan sendirinya. Buku-buku itu datang menjemput binar mata, menyiagakan segalanya. Sempat seingat saya sepuluh tahun yang lalu, menulis puisi ada caraku berbagi. Tapi semuanya tercecer. Sama halnya dengan kebiasaan-kebiasaan itu. Segalanya disegel denting gelas dan semarak hura-hura. Tak tahu kenapa, minat itu sekejap meliburkan suara semarak denting kaca. Sunyi. Senyap dalam aroma kayu dan lembar-lembar yang saling menumpuk---menindih. Dan siap untuk ditelanjangi.
Seingat saya, dua hal ini untuk sebagian orang, dan saya pun pernah merasakan, bahwa dua hal ini selalu menjadi sebuah hukuman. Menulis dan membaca. Satu bentuk hukuman yang menurutku memang untuk mengajari. Tapi jika mengajari selalu dengan hukuman, meski itu hanya menulis atau pun membaca. Maka kita, dengan sendirinya terkerangkeng oleh kata 'harus'. Mendesak. Melelahkan. Dan apapun itu jika soal mendesak dan melelahkan, akan berunjung pada mengungkung----kreativitas ditelungkupi kaca cembung. Saya ingat dulu jika lupa membuat PR, teman sebangku saya dihukumi dengan menuliskan seratus kalimat hingga kapur tulis terparut hampa di papan. Membaca buku dengan batas hingga kesekian halaman. Yang berbusa dan haus. Bergelembung meletas. Tak guna.
Di akhir novel 'Amba' tadi. Ada petilan dari Serat Centhini yang dilekatkan Laksmi Pamuntjak, "Manusia tidur, ketika mati mereka bangun."
Yang bisa saya maknai soal menulis dan membaca. Apapun yang kita tulis dan kita baca, semuanya hasil buah pikiran kita---manusia. Kita menulis dongeng tentang kematian, lalu kita membaca dongeng itu untuk melekaskan tidur. Kemudian bermimpi. Bahwa sesungguhnya ada alam yang kekal sesudah mati. Di mana kita tak tidur dan tak mati. Dan bangun menjadi kata yang tak tertuliskan dan terbacai.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Saya ingin melanjutkannya dengan persoalan menulis dan membaca. Sedari Sekolah Dasar saya sudah gemar membaca, dan menulis. Dan meski tak gemar, kedua hal itu mungkin wajib bagi kita yang mengenyam pendidikan. Bahkan tak ada kata 'mungkin' tapi 'wajib'. Pelajaran Bahasa Indonesia memang selalu menjadi hal yang istimewa bagiku. Untuk mengarang, nilaiku tak pernah di bawah sembilan. Begitu pun dengan pelajaran lainnya. Sedari kelas satu hingga kelas enam, juara kelas menjadikanku anak yang selalu disisir rapi oleh Ibuku. "Kamu anak pintar" kata Ibuku. Lalu tak pernah saya mendengar kalimat lanjutan, "Siapa dulu dong orang tuanya" dari tutur kedua orang tuaku. Ini prestasiku, dan mereka memahaminya.
Membaca adalah kegemaran kanak-kanak. Ketika komik-komik 'Donal Bebek' mulai antri tersusun di rak-rak almari buku saudara perempuanku. Pinjam dan segera melekaskan membaca. Karena pinjam selalu diakhiri dengan harus mengembalikannya. Meski kami adalah saudara. Sungguh aneh jika kegemaran itu tiba-tiba datang setelah berpuluh-puluh tahun kemudian. Sama halnya dengan kegemaran menulis. Kini, buku seperti candu. Tak ada buku, tak mabuk. Kata-kata sering memabukkan memang. Mencongkel mata kita, memaksa menelannya, biar mata kita seliweran di dalam tubuh. Menjelma bersama leburan kalimat-kalimat, dan merangsek pelan di sel-sel syaraf, untuk kemudian menemukan maknanya.
Aneh memang, setelah berpuluh-puluh tahun, tiba-tiba cakra untuk menulis dan membaca terbuka dengan sendirinya. Buku-buku itu datang menjemput binar mata, menyiagakan segalanya. Sempat seingat saya sepuluh tahun yang lalu, menulis puisi ada caraku berbagi. Tapi semuanya tercecer. Sama halnya dengan kebiasaan-kebiasaan itu. Segalanya disegel denting gelas dan semarak hura-hura. Tak tahu kenapa, minat itu sekejap meliburkan suara semarak denting kaca. Sunyi. Senyap dalam aroma kayu dan lembar-lembar yang saling menumpuk---menindih. Dan siap untuk ditelanjangi.
Seingat saya, dua hal ini untuk sebagian orang, dan saya pun pernah merasakan, bahwa dua hal ini selalu menjadi sebuah hukuman. Menulis dan membaca. Satu bentuk hukuman yang menurutku memang untuk mengajari. Tapi jika mengajari selalu dengan hukuman, meski itu hanya menulis atau pun membaca. Maka kita, dengan sendirinya terkerangkeng oleh kata 'harus'. Mendesak. Melelahkan. Dan apapun itu jika soal mendesak dan melelahkan, akan berunjung pada mengungkung----kreativitas ditelungkupi kaca cembung. Saya ingat dulu jika lupa membuat PR, teman sebangku saya dihukumi dengan menuliskan seratus kalimat hingga kapur tulis terparut hampa di papan. Membaca buku dengan batas hingga kesekian halaman. Yang berbusa dan haus. Bergelembung meletas. Tak guna.
Di akhir novel 'Amba' tadi. Ada petilan dari Serat Centhini yang dilekatkan Laksmi Pamuntjak, "Manusia tidur, ketika mati mereka bangun."
Yang bisa saya maknai soal menulis dan membaca. Apapun yang kita tulis dan kita baca, semuanya hasil buah pikiran kita---manusia. Kita menulis dongeng tentang kematian, lalu kita membaca dongeng itu untuk melekaskan tidur. Kemudian bermimpi. Bahwa sesungguhnya ada alam yang kekal sesudah mati. Di mana kita tak tidur dan tak mati. Dan bangun menjadi kata yang tak tertuliskan dan terbacai.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment