Kembali ke mi instan. Kita tahu bahwa apa yang instan-instan selalu tidak baik. Apalagi soal makanan, apapun itu jika mengenai yang cepat saji, pasti tak selalu sehat. Berdampak buruk. Ini-itu. Bla... bla... bla... bla... seperti suara air rebusan yang mendidih. Tapi jika itu ikhtiar kita, meskipun kita ingin yang lebih baik pada diri kita. Toh, pada akhirnya juga maut sering mengintai ubun-ubun kita. Ajal tak suka disandingkan dengan aroma kaldu, pikirku. Bukankah usia kita sudah tertoreh di langit. Entah langit yang mana. Karena kita dikelilingi langit. Bahkan Bumi ini, bagi penghuni Jupiter, adalah langit. Bagian dari langit. Isi dari langit. Dan kita, langit itu sendiri.
Hidup ini memang instan, dan apapun soal yang instan, selalu tidak baik. Bahkan hidup ini memang tak baik. Berdesak-desakkan dengan segala rupa. Meminjam nama Tuhan lalu membunuh.
Membunuh adalah sesuatu yang instan. Tusuk. Lalu membusuk. Bahkan demi mi instan, di luar sana mereka saling membantai. Menjerat leher yang dianggap lawan, lalu menghirup nyawa mereka. Padahal kemarin mereka tetangga. Tapi tubuh yang kerontang, selalu saling menantang demi sebungkus mi rasa ayam bawang. Mereka kelaparan. Dan lapar adalah sebab yang menakutkan.
Saos ini seperti darah, kecap jadi nanah hitam. Irisan cabe serupa titik-titik luka baru. Dan tali-temali keriting yang saling menjerat. Mangkuk ini jadi kolam Holocaust. Setelah habis direbus dengan api yang dicuri dari Hades. Aroma ini berubah menjadi bau. Saya rela lapar demi membunuh imajinasi ini. Tapi ini imagologi. Dunia memang pernah--sedang atau akan menjadi seperti mangkuk itu. Untuk semuanya, saya muntah membayangkannya.
Ah, apapun soal merebus, memang selalu menakutkan. Tapi ini hanya merebus mi. Kita tahu, bahwa apa yang instan memang tak selalu tak baik. Sorga menunggu di bungkusan lain. Menunggu dibakar. Sehabis makan, merokok selalu jadi hal yang sakral. Lalu ketawa instan.
No comments :
Post a Comment