Segera kuperlambat detak jantung ini. Mengatur nafas secara teratur tanpa tutur. Hanya helaan dan hembusan. Sepi. Dan sesekali suara manuver nyamuk makin mendominasi ruang, bahkan waktu yang tersisa pun dicabik-cabik dengungannya. Aku bukan pengidap insomnia, tapi siang tadi tak cukup lelah, ditambah kantukku masih sembunyi di balik siluet kafein. Senyawa Alkaloid Xantina itu merangkulnya erat. Pagi makin dekat lagi.
Oh ya, delapan hari lagi aku ulang tahun. Dan dua puluh empat hari lagi Sigi kecilku juga ulang tahun. Imajinasi tentang dia seketika menjadi pengisi kekosongan ini. Mencoba mengais-ngais di tumpukan memori, mencari kepingan yang bisa kujadikan senyuman tatkala jilatan kantuk nanti menggetahi kelopak mataku.
Sigiku ini bukan bidadari, tapi dia seperti hasil taksidermi dari beberapa makhluk indah. Tak bisa kugambarkan bagaimana Tuhan membentuknya sedemikian indah. Bukan parasnya, tapi ini tentang kejadian penciptaannya. Memang wajar bagi setiap makhluk yang diberi kesempatan bisa beranak pinak. Bagiku ini begitu istimewa. Dan yang belum diberi kesempatan. Sesuatu yang lebih istimewa sedang menanti di sana. Di panti asuhan, di jalanan, dan di rumah-rumah persalinan di mana para manusia tak mampu, beranak pinak memberi kalian kebahagian lain. Itu pun lebih istimewa lagi. Atau ia masih tersembunyi dalam bisikan doa. Senyap-senyap ia datang.
Di luar sana rintik hujan menepuk-nepuk pundak genteng. Dan cerita tentang April ini belum mau kuakhiri. April ini aku sekaligus buah hatiku dipersilahkan mendiami dunia tempat di mana kita terbuang---katanya. Setidaknya kita diberi kesempatan untuk berpetualang. Dari alam non materi ke alam materi, kemudian kembali lagi ke semula. Atau memang kita tak pernah bermula dan berakhir. Bukankah materi itu adalah non materi itu sendiri. Tapi yang namanya berpetualang pasti selalu mendebarkan. Aku mengira kita bukan mampir di sini. Bukan pula terbuang. Ini dunia tempat kita untuk berbagi. Agar barang bawaan kita tak terlalu berat untuk kembali. Kita datang telanjang, dan kembali telanjang pula. Yang kita bawa hanya ruh itu sendiri. Dan jangan bebani ruh kita dengan segala bentuk kematerian. Mari telanjang. Dan biarkan ruh menyeluruh bugil tak kenal menggigil.
Asin hujan menjadi penawar paitnya kopi tadi. Kantukku tiba-tiba melesak. Ah, hidup dan mati, lalu tidur dan bangun, kita masih dalam rangkulan kekekalan meski terkadang kekesalan hadir. Tapi dari rasa kesal selalu ada harapan. Sambil menunggu kita terbangun dan tersadar bahwa sebenarnya kita ini kekal. Aku pikir ruh tak pernah tidur. Tuhan pun demikian.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment