Masa kanak-kanak, kata kawan saya; masa dimana penuh dengan keajaiban, dan berbahagialah mereka yang tetap mau menjadi anak-anak, dan bertahan dengan keajaiban-keajaiban. Dewasa itu sebuah kesalahan, tua itu pasti seperti mati.
Anak-anak memang dipenuhi dengan imajinasi, semakin mereka menemukan hal-hal baru, maka imajinasi mereka seketika terpoles membentuk pelangi di atas kepala mereka. Dunia ini begitu sangat, sangat ajaibnya bagi mereka. Kita seringkali menganggap hal yang luar biasa menjadi hal yang biasa, karena terbiasa. Bulan yang menggantung, awan yang mengambang, dan bintang-bintang yang berserakan di langit. Selalu menjadi hal yang aneh bagi mereka. Seakan-akan alam masih tersaji segar. Dan semuanya tampak baru dipentaskan dan pantas dipertanyakan. Terkadang, untuk memahami sesuatu, kita memang harus menjadi anak-anak dulu.
Saya masih ingat mungkin ketika berusia sembilan tahun. Pernah bertanya-tanya di sore hari, sambil menyapu bersih alam sekitar dengan pandangan sejauh tatap yang menembus arak-arakkan mega. Siapa yang mencipta ini semua? Karena pikirku manusia yang terpandai saat itu adalah seorang Profesor, maka pertanyaan saya disusul dengan; siapa Bapak Profesor yang mampu mengetahui, dibalik semesta ini ada, siapa penciptanya? Dan jika si 'siapa' itu ada, dia dari 'siapa'... Dan jika segalanya hilang, maka di 'hilang' itu pasti masih ada yang 'ada', kan? Lalu?
Pertanyaan itu sempat saya tanyakan ke kakak perempuan saya, dan jawabnya; jangan bertanya seperti itu, nanti jadi gila. Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, baru saya kembali menggali pertanyaan itu, yang sudah tertumpuk di memori. Dan ternyata, bukan hanya saya yang sering bertanya demikian. Beratus-ratus orang pemikir, memikirkan hal yang sama. Dan di usiaku yang masih kelas tiga sekolah dasar waktu itu. Pertanyaan seperti itu sangat lumrah dan itulah keajaiban masa kanak-kanak. Bukankan ketika kita masih bayi dan belajar mengeja bahasa, ada satu kata yang paling cepat kita ucapkan; apa, pa, papa, appa... Hingga kelas tiga SMP, saya juara kelas, dengan banyak bertanya. Dengan 'apa' yang tak pernah alpa. Dan sebenarnya, tak pernah ada satu pun jawaban yang saya temui, yang bisa menjelaskan apa yang saya tanyakan disaat usia sembilan tahun itu.
Dengan riang, kita tertawa, kita nikmati keajaiban-keajaiban, sonder diberitahu, kita telah jauh meninggalkan masa itu. Tapi itu masa yang purba dan terus teraba. Dan bagi saya, untuk sebuah pertanyaan itu, hanya keriangan kita yang bisa menjawab. Bahagia dengan melihat orang lain bahagia. Itu adalah jawaban dari segala pertanyaan. Dunia ini diciptakan oleh kebahagiaan. Dan satu saja kebaikanmu kepada orang lain, atau membuat ia bahagia. Maka disaat itulah, alasan Tuhan itu ada, dan mencipta. Untuk berbagi.
Kita tahu, bahwa anak-anaklah yang paling cepat berbagi sesuatu. Ia tidak pernah merasa memiliki, atau ia bisa saja menangisi suatu benda yang kita rebut dari dia dengan mudah, tapi sesaat setelah kita menawarkan benda yang lain, ia menerima begitu saja. Lalu berbagi kembali, memberi, dan merelakan begitu saja. 'Childhood', masa kanak-kanak... Kupikir... Tuhan adalah anak-anak. :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Anak-anak memang dipenuhi dengan imajinasi, semakin mereka menemukan hal-hal baru, maka imajinasi mereka seketika terpoles membentuk pelangi di atas kepala mereka. Dunia ini begitu sangat, sangat ajaibnya bagi mereka. Kita seringkali menganggap hal yang luar biasa menjadi hal yang biasa, karena terbiasa. Bulan yang menggantung, awan yang mengambang, dan bintang-bintang yang berserakan di langit. Selalu menjadi hal yang aneh bagi mereka. Seakan-akan alam masih tersaji segar. Dan semuanya tampak baru dipentaskan dan pantas dipertanyakan. Terkadang, untuk memahami sesuatu, kita memang harus menjadi anak-anak dulu.
Saya masih ingat mungkin ketika berusia sembilan tahun. Pernah bertanya-tanya di sore hari, sambil menyapu bersih alam sekitar dengan pandangan sejauh tatap yang menembus arak-arakkan mega. Siapa yang mencipta ini semua? Karena pikirku manusia yang terpandai saat itu adalah seorang Profesor, maka pertanyaan saya disusul dengan; siapa Bapak Profesor yang mampu mengetahui, dibalik semesta ini ada, siapa penciptanya? Dan jika si 'siapa' itu ada, dia dari 'siapa'... Dan jika segalanya hilang, maka di 'hilang' itu pasti masih ada yang 'ada', kan? Lalu?
Pertanyaan itu sempat saya tanyakan ke kakak perempuan saya, dan jawabnya; jangan bertanya seperti itu, nanti jadi gila. Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, baru saya kembali menggali pertanyaan itu, yang sudah tertumpuk di memori. Dan ternyata, bukan hanya saya yang sering bertanya demikian. Beratus-ratus orang pemikir, memikirkan hal yang sama. Dan di usiaku yang masih kelas tiga sekolah dasar waktu itu. Pertanyaan seperti itu sangat lumrah dan itulah keajaiban masa kanak-kanak. Bukankan ketika kita masih bayi dan belajar mengeja bahasa, ada satu kata yang paling cepat kita ucapkan; apa, pa, papa, appa... Hingga kelas tiga SMP, saya juara kelas, dengan banyak bertanya. Dengan 'apa' yang tak pernah alpa. Dan sebenarnya, tak pernah ada satu pun jawaban yang saya temui, yang bisa menjelaskan apa yang saya tanyakan disaat usia sembilan tahun itu.
Dengan riang, kita tertawa, kita nikmati keajaiban-keajaiban, sonder diberitahu, kita telah jauh meninggalkan masa itu. Tapi itu masa yang purba dan terus teraba. Dan bagi saya, untuk sebuah pertanyaan itu, hanya keriangan kita yang bisa menjawab. Bahagia dengan melihat orang lain bahagia. Itu adalah jawaban dari segala pertanyaan. Dunia ini diciptakan oleh kebahagiaan. Dan satu saja kebaikanmu kepada orang lain, atau membuat ia bahagia. Maka disaat itulah, alasan Tuhan itu ada, dan mencipta. Untuk berbagi.
Kita tahu, bahwa anak-anaklah yang paling cepat berbagi sesuatu. Ia tidak pernah merasa memiliki, atau ia bisa saja menangisi suatu benda yang kita rebut dari dia dengan mudah, tapi sesaat setelah kita menawarkan benda yang lain, ia menerima begitu saja. Lalu berbagi kembali, memberi, dan merelakan begitu saja. 'Childhood', masa kanak-kanak... Kupikir... Tuhan adalah anak-anak. :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment