Sangat terik, bumi terpanggang. Kalau dilihat dari satelit, mungkin planet bundar ini sedang mendengus. Satu peluh memotong raut mukaku yang kusam. Bergulir dan jatuh meresap bersatu di kaos lusuhku. Mereka, peluh-peluh itu pun besedekap dengan kawan-kawannya. Air seteguk, tak seimbang dengan keringat selutut. Menggenangi kota yang mulai meninggi mencolek langit. Mereka pikir bisa menjamahnya, seperti Menara Babel. Pada detik ini, hanya bahasa yang mampu meruntuhkan langit. Atau menikamnya dengan sebilah tombak teori. Padahal mereka lupa tongkat tombak itu akan melapuk. Dengan ujung mata tombak yang berkarat. Teori-teori sekarat.
Aku tertunduk. Cerita 'langit' membuat tengkukku lelah. Menyapa bumi yang kupijaki dengan badan miring. Ada peluh kedua yang terlepas jatuh, disusul peluh ketiga, keempat, kelima, lalu yang keenam mulai terlupakan. Lelah ini menggerus hingga beringus. Debu-debu seantero kota melesak masuk ke lubang hidungku. Kali ini peluh di tanah seketika mempunyai teman baru. Segumpal kenyal warna hijau muda baru saja dijentikkan jemariku ke tanah. Aku kini duduk dengan peluh ketujuh yang melintas cepat seperti baru saja lepas dari lapas.
Mungkin kalau dipotong setengkuk rambutku bisa mengurangi gerah hari ini." Kalimat itu terucap pelan, bicara dengan diriku sendiri sambil mengelus rambut gondrongku.
Peluh kedelapan senyap-senyap melewati dahi, lalu hinggap di kening sebelah kananku. Ia bersembunyi. Tapi peluh kesembilan datang dengan nakal dan menemukannya, mengajaknya lompat bersama. Meloncat melewati mata. Mereka lari dengan keberanian yang terawasi. Kemudian tercerai-berai menghujam dengkulku. Posisi dudukku bersila. Bersandar pada dinding angin. Aku lapar. Dengan dengkul yang gemetar.
"Sepertinya, bebek panggang dan dua piring nasi... Akan terhidang di meja makan." Tatapan lurus ke depan. Di sebuah rumah yang asri berseri-seri diapit kota. Bukan kos-kosan yang ngos-ngosan terhimpit kota.
Suara-suara klakson mobil meramaikan kota yang sedari tadi bising. Kurogoh saku celanaku, karena posisi duduk bersila susah merogoh saku, aku berdiri miring lagi dan yang kutemukan di kantong sakuku hanya sebuah koin lima ratusan yang basah seketika dihujani peluh kesepuluh. Disusul desahan yang ditembus peluh kesebelas dari ujung hidung. Aku menyeka sisa keringat yang menggelitik ujung hidungku. Berminyak dan mendidih. Peluh keduabelas, ketigabelas, dan keempat belas mengucur tiba-tiba dari belakang telingaku. Sambil tertawa mereka berucap, "Lihat telapak tanganmu, lihat telapak tanganmu."
Telapak tangan yang terbuka. Dengan garis-garis saling melintang semrawut. Posisi layaknya berdoa yang ditetesi bulir-bulir peluh kelimabelas dan keenambelas. Pandanganku beralih dari telapak tangan ke jalan setapak di ujung sana. Seorang anak kecil sedang bernyanyi, "Cinta ini, membunuhku," Dengan tangan yang menengadah sama. Meminta.
Anak itu meminta-minta, sementara saya terus berandai-andai dan berdoa." Dalam hati. Rupa ini jadi merah terbakar dupa doa. Peluh ketujuhbelas memelas melewati dagu. Menyusuri lekukan leher dan menembus ke dada. Dingin.
Hampir pukul 15:00, perut ini belum juga menjadi kuburan binatang. Atau sekadar tumbuh-tumbuhan yang tertumis layu di atas wajan. Peluh kedelapanbelas berkelok-kelok di pematang dahi, melintas di ujung saung kening, dan terus turun ke lembah cekung pipi. Tertahan. Hingga temannya peluh kesembilanbelas datang menyambanginya dan mengajak. Meloncat bunuh diri. Sementara jarum jam terus berdecak-decak. Mengejek. Jarum jam dari arloji di lengan orang yang berdiri di sampingku. Ia melihat jam tangannya lalu melirik ke arahku, mencari ruang untuk menyapa, "Peluhmu coba diseka, sudah dua puluh peluh yang kuhitung sedari tadi." Sambil menunjuk ke arah bibirku yang kini asin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Aku tertunduk. Cerita 'langit' membuat tengkukku lelah. Menyapa bumi yang kupijaki dengan badan miring. Ada peluh kedua yang terlepas jatuh, disusul peluh ketiga, keempat, kelima, lalu yang keenam mulai terlupakan. Lelah ini menggerus hingga beringus. Debu-debu seantero kota melesak masuk ke lubang hidungku. Kali ini peluh di tanah seketika mempunyai teman baru. Segumpal kenyal warna hijau muda baru saja dijentikkan jemariku ke tanah. Aku kini duduk dengan peluh ketujuh yang melintas cepat seperti baru saja lepas dari lapas.
Mungkin kalau dipotong setengkuk rambutku bisa mengurangi gerah hari ini." Kalimat itu terucap pelan, bicara dengan diriku sendiri sambil mengelus rambut gondrongku.
Peluh kedelapan senyap-senyap melewati dahi, lalu hinggap di kening sebelah kananku. Ia bersembunyi. Tapi peluh kesembilan datang dengan nakal dan menemukannya, mengajaknya lompat bersama. Meloncat melewati mata. Mereka lari dengan keberanian yang terawasi. Kemudian tercerai-berai menghujam dengkulku. Posisi dudukku bersila. Bersandar pada dinding angin. Aku lapar. Dengan dengkul yang gemetar.
"Sepertinya, bebek panggang dan dua piring nasi... Akan terhidang di meja makan." Tatapan lurus ke depan. Di sebuah rumah yang asri berseri-seri diapit kota. Bukan kos-kosan yang ngos-ngosan terhimpit kota.
Suara-suara klakson mobil meramaikan kota yang sedari tadi bising. Kurogoh saku celanaku, karena posisi duduk bersila susah merogoh saku, aku berdiri miring lagi dan yang kutemukan di kantong sakuku hanya sebuah koin lima ratusan yang basah seketika dihujani peluh kesepuluh. Disusul desahan yang ditembus peluh kesebelas dari ujung hidung. Aku menyeka sisa keringat yang menggelitik ujung hidungku. Berminyak dan mendidih. Peluh keduabelas, ketigabelas, dan keempat belas mengucur tiba-tiba dari belakang telingaku. Sambil tertawa mereka berucap, "Lihat telapak tanganmu, lihat telapak tanganmu."
Telapak tangan yang terbuka. Dengan garis-garis saling melintang semrawut. Posisi layaknya berdoa yang ditetesi bulir-bulir peluh kelimabelas dan keenambelas. Pandanganku beralih dari telapak tangan ke jalan setapak di ujung sana. Seorang anak kecil sedang bernyanyi, "Cinta ini, membunuhku," Dengan tangan yang menengadah sama. Meminta.
Anak itu meminta-minta, sementara saya terus berandai-andai dan berdoa." Dalam hati. Rupa ini jadi merah terbakar dupa doa. Peluh ketujuhbelas memelas melewati dagu. Menyusuri lekukan leher dan menembus ke dada. Dingin.
Hampir pukul 15:00, perut ini belum juga menjadi kuburan binatang. Atau sekadar tumbuh-tumbuhan yang tertumis layu di atas wajan. Peluh kedelapanbelas berkelok-kelok di pematang dahi, melintas di ujung saung kening, dan terus turun ke lembah cekung pipi. Tertahan. Hingga temannya peluh kesembilanbelas datang menyambanginya dan mengajak. Meloncat bunuh diri. Sementara jarum jam terus berdecak-decak. Mengejek. Jarum jam dari arloji di lengan orang yang berdiri di sampingku. Ia melihat jam tangannya lalu melirik ke arahku, mencari ruang untuk menyapa, "Peluhmu coba diseka, sudah dua puluh peluh yang kuhitung sedari tadi." Sambil menunjuk ke arah bibirku yang kini asin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment